Telat Wisuda Tidak Berarti Gagal


Menurut kalender belajarku, tahun 2010 adalah tahun kelulusanku, dan mestinya aku memang lulus, tapi karena dosen-dosenku masih sayang kepadaku, maka meskipun berat, aku mesti bertahan menemani kampus coklatku, Universitas Al Azhar.


Syuun At-Thullab (Bag. Kemahasiswaan) juga begitu, Ust. Ramadan khususnya, setiap kali aku datang menghadap, beliau selalu bersikeras menolak tholab rafa' (permohonan agar nilaiku yang minus diangkat) yang kuajukan tiga hari setelah pengumuman. Seolah beliau masih mengharapkan agar aku tetap berlangganan tasdiq (bukti terdaftar sebagai mahasiswa) dengannya sampai tahun depan. Tapi apa iya begitu?! Entahlah. Hatiku kalut. Sudah berapa kali aku jadi santapan empuk kalimat 'bukrah' nya.

Memang sedih, tapi apa daya, aku tidak ingin hal ini berlarut-larut. Karena mungkin, Allah belum mengabulkan keinginanku. Tapi aku yakin bahwa Allah akan memenuhi apa yang kubutuhkan.

Saat ini, aku merasa bekal keilmuanku masih sangat minim. Bisa jadi hikmahnya demikian, mengapa Allah masih menakdirkanku untuk tetap bermukim di sini. Tidak lain dan tidak bukan agar aku terus belajar dan memperdalam ilmu pengetahuan agamaku. Bekal itu yang kubutuhkan sebenarnya. Tapi tidak jarang, kebutuhanku sendiri terkadang tidak kusadari, bahwa aku membutuhkannya, sehingga aku sering lalai. Yang ada dalam benakku adalah lulus dan lulus, walau bagaimanapun predikat (takdir)-ku.

Di hari pengumuman itu, mataku sempat berkaca-kaca saat ku saksikan ada tiga maadah (pelajaran) yang tidak mencapai standar minimal. Padahal seingatku, aku bisa menjawab dua pelajaran tersebut walaupun tidak maksimal. Adapun maadah yang satunya lagi, 'menurutku' sudah tamam (sempurna) jawabannya (ga tahu kalo menurut Doktor). Bahkan Si Mahmud, kawan dekatku, selalu terlihat cemas dan sering cuhat denganku sepulang ujian. Ia merasa belum maksimal menjawab soal, tapi nyatanya dia lulus.

Ujian di Azhar memang banyak menyimpan misteri. Sering kali, ada mahasiswa yang begitu yakin lulus nyatanya tidak lulus, ada yang was-was tidak lulus tapi tetap lulus dan ada juga yang yakin tidak lulus pada kenyataannya memang tidak lulus. Kategori yang terakhir ini, terjadi dengan kawanku, ia sengaja tidak masuk ujian agar tidak lulus karena dia memang masih tingal di Mesir untuk menghafal Al Quran. Berbeda kontras dengan yang kualami. Kerinduanku kepada keluargaku sudah begitu mendalam. Tapi, takdir berkehendak lain, sehingga bagiku, tahun ini layak disebut 'amul huzni (tahun bersedih).

Akhirnya, hatiku yang memang sudah kecil, rasanya semakin bertambah kecil. Terpukul. Ingin ku mengiba. Tapi kemana?!!

Ibarat mengurai benang kusut, rasanya mustahil aku mampu menata kembali perasaanku yang sedang berkecamuk. Idealisme sebagai seorang pembelajar sejati, yang sering kusampaikan di forum-forum kajian, kini runtuh. Sebab, tanggung jawab privatif yang seharusnya menjadi pririotas, justru tidak berbanding lurus dengan tanggung jawab publik. Tak ubahnya, aku ibarat lilin. Berhasil menyinari ruangan tapi gagal mempertahankan eksistensinya. Hatiku terhempas, pandanganku sayu. Tapi kutahan untuk tidak menangis. Sementara di sampingku, kawan-kawanku yang berkulit gelap, putih, coklat dan merah, dengan tebaran parfum khas ala kulit masing-masing, sedang berdesak-desakkan sembari mencocokkan satu persatu nomor urut yang tertera di papan pengumuman, dengan nomor ujian yang ada digenggaman mereka.

Kutatap berlahan dari ujung etalase sampai ke ujung yang lainnya, hanya beberapa orang yang tersenyum manis penuh eufhoria. Sementara yang lainnya, tidak sedikit yang menampakkan rona wajah penuh penyesalan.

Ternyata banyak juga yang senasib denganku. Sehingga perasaanku menjadi sedikit lebih ringan. Benar kata orang, "Al-Qatlu maal jama'ah rahmah", meski sengsara (sedih), bila bersama tetap terasa nikmat. Karena, aku tidak sendirian mengalami hal serupa.

Menurut kawan-kawanku, memang presentase kenajahan tahun ini sangat minim. Di Fakultas Syariah Islamiyah (FSI) hanya 40 % yang najah shaafi (murni). 20 % tashfiyah (mengulang satu atau dua maadah) dan sisanya, 40 % rasib (tidak lulus) atau i'adah (mengulang tahun depan). Maka beruntunglah bagi Anda yang najah, meskipun najah itu bukan indikasi kejeniusan apalagi keilmuan. Tapi paling tidak, satu tahun ke depan Anda bisa memanfaatkannya untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi atau merancang busana kehidupan masa depan.

Walau bagiamanapun, najah (lulus), apalagi kalau mampu berprestasi, senangnya memang hanya sedikit, selebihnya senang sekali! Dan, dengan tidak najah, berarti ada sekian agenda yang tertunda. Anda tahu itu.

Kawan, di saat seperti ini, pikiranku buyar entah kemana. Yang terlintas dalam pikiranku adalah 12 bulan kedepan alias satu tahun penuh, itu sekedar untuk mengulang 3 (tiga) mata maadah tadi.

Terbayang wajah bunda yang sudah sepuh, terbayang wajah ayah yang sering sakit-sakitan, terbayang wajah adik bungsu yang sangat merindukanku. Dan tidak ketinggalan pula, terbayang wajah Halimah teman mainku waktu kecil dulu.

Teringat pesan ayah saat beliau mengantarku ke Bandara Soekarno- Hatta, "Nak, belajar yang rajin ya!, Ayah cuma bisa berdoa semoga kamu sukses dalam belajar."
Teringat pesan ibu, "Mad (Ahmad, namaku), jangan lupa belajar ya nak, kalau kamu terlena di Kairo, kasihan adik bungsu menunggu di rumah."
Teringat pesan ayah Halimah, guru ngajiku waktu SD, sambil menepuk bahuku beliau bertutur, "Nak Ahmad, belajar yang rajin ya, biar cepat pulang cepat nikah!." Aku hanya tersenyum, tak berani melirik manis ke arah putrinya, Halimah. Hanya saja, sesaat sebleum bergegas chek in, pandangan kami bertemu dalam lintasan, ia hanya tertunduk diam sambil tersipu malu. Pilu juga rasanya. "Ah, Halimah. Maafkan abang, karena abang telat pulang!."

Hik hiks..., tak tahan rasanya air mataku berlinang seketika. Ada rasa bersalah dalam diriku. Kenapa dulu aku tidak fokus belajar. Kenapa dulu aku enggan membaca muqarrar (diktat) saat kosong menjelang rapat organisasiku, kenapa aku hanya berchatting-ria saat aku diminta piket sekretariat, kenapa aku terjangkit syindrom rasa takut 'dicap riya' untuk memanfaatkan waktu dengan membaca buku di atas 80 coret, kenapa tidak kumanfaatkan satu setengah jam di mahattoh untuk membaca. Padahal semua waktu selama di Mesir ini, menurut guruku adalah waktu untuk belajar. Di mana dan kapan saja.

Kini aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Karena kesalahan itu ada pada diriku. Kenapa dulu, aku malu bertanya kepada kawan, kenapa kamarku hanya kujadikan tempat istirahat dari letihnya kepanitiaan dan kenapa aku jarang sekali masuk kuliah... T.T. Kenapa oh kenapa?!. Sepanjang jalan hatiku penuh tanda tanya. Sehingga tak terasa kalau aku sudah sampai ke depan pintu gerbang asrama. Buuts..., Buuts, ujar Qumsyari (kernet) dengan lahjah "Gabalek"nya. Astaga, sudah sampai!
Dengan ayunan kaki yang lunglai, aku berjalan menuju kamar berukuran 3x4 di imarah 20. Ku rebahkan tubuhku, kutatap langit-langit kamarku. Akhirnya, azan ashar menyadarkan lamunanku.

Sembari bersimpuh seusai shalat, ingin rasanya menyalahkan takdir, kenapa nasib tidak berpihak denganku?!. Tapi sudahlah, aku harus menyadari kekuranganku, mengakui kealpaannku dan mengevaluasi niat dan kesungguhan belajarku selama ini, Akhirnya ku pasrahkan semuanya kepada Allah Swt. Ya Allah, aku yakin ini yang terbaik buatku. Aku rela atas takdirmu. Tapi aku mohon, bimbinglah hamba meuju ridha-Mu. Izinkah hamba mencium tangan ibuku tahun depan.

Beginilah penyesalan. Selalu ada di belakang. Pepatah klasik mengatakan, sesal dahulu sebelum terlanjur, sesal kemudian tiada berati. Kini semua sudah terlanjur. Kata orang bijak, "Nasi sudah menjadi bubur". Namanya bubur, mau bagaimanapun, tidak bisa dikembalikan menjadi nasi seperti sedia kala. Tapi aku tidak boleh putus harapan. Aku harus bangkit untuk menggapai asa itu. Aku harus mampu mencarikan rempah dan bumbu yang tidak kalah sedap dengan kenajahan. Aku yakin, bila aku aku mampu mengelola bubur tersebut menjadi bubur ayam, maka ia akan menjadi bubur yang sangat lezat. Bumbu itu adalah instrumen ilmu pengetahuan yang beraneka ragam. Baik itu ulumu Al Quran, ulumul hadits, ilmu falak dan lain sebagainya. Selama setahun ke depan aku akan bertekad ingin mendalami ilmu-ilmu itu. Di mana pin ia berada, kan ku kejar sampai ujung dunia.

Aku teringat nasehat salah seorang alumni Al Azhar yang kini sudah meraih gelar Doktor. Ketika itu beliau sempat tidak lulus di tahun ketiga. Pada mulanya, manusiawi bila beliau juga merasa sedih. Namun kekcewaan itu tidak berlarut sampai tidak berani keluar rumah dan mengucilkan diri dalam kamar yang hanya berukuran 4x6. Sebaliknya, beliau memacu diri untuk membayar kekalahannya di tahun ketiga tersebut dengan menghafal Al-Quran. Ia yakin bahwa ini bukan kegagalan, tapi kesuksesan yang tertunda. Walhasil, hafalan selesai waktu ujian pun tiba dan beliau berhasil naik ke tingkat empat.

Berkahnya sungguh berlimpah, dengan modal hafalan dan pengalaman 'tidak naik' sekali itu, beliau semakin termotivasi dan mawas diri. Dan, hafalan beliau tersebut sangat membantu untuk memahami diktat kuliah yang sarat dengan dalil-dalil dari Al-Quran dan Al-hAdits. Menurut penuturan beliau, justru dengan modal hafalan selama masa kevakuman kuliah tadi itu, beliau mampu lulus ujian muqabalah pasca sarjana di Al Azhar dengan mudah.

Menurut beliau, seandainya pada tingkat tiga lancar-lancar saja sementara beliau tidak memiliki hafalan Al Quran yang memadai, maka bisa jadi beliau akan menemukan hambatan di jenjang selanjutnya. Akan tetapi, Allah punya skenario sendiri terhadap hamban-Nya. Allah Maha tahu kebutuhan hamba-Nya di kemudian hari. Untuk itu Allah menyiapkan hamba-Nya agar menghafal Al Quran.

Karena sudah memiliki hafalan al Quran, maka ketika mulai belajar di program diploma, beliau bisa fokus untuk menguasai diktat yang bejubel nan njelimet, sementara madah Al Quran, tinggal dimurajaah dan tidak perlu lagi mengulang dari zero.
Masih menurut beliau, kemudahan-kemudahan berikutnya, sungguh beliau alami hingga selesai program master dan doktoral. Kini beliau sudah sampai pada garis finish pendidikan di Al Azhar berhasil meraih gelar Doktor dan bekerja di salah satu perbankan Islam di Jakrta. Subhanallah betapa besar hikmahnya. Demikianlah, Allah tidak selalu memberikan apa yang kita inginkan, tapi Allah selalu memberikan apa yang kita butuhkan.

Cairo, 15 September 2010.



Mas Emha